Sepulang sekolah biasanya anak-anak akan menceritakan peristiwa berkesan yang mereka alami hari itu. Terkadang yang mereka ceritakan adalah perilaku tidak menyenangkan yang mereka terima. Tidak jarang kita kebingungan menentukan apakah yang mereka ceritakan tersebut tergolong pertengkaran biasa dimana kita harus menahan diri untuk tidak ikut campur dan mendorong anak menyelesaikan persoalannya sendiri ataukah hal tersebut sudah tergolong bullying dimana kita tidak bisa membiarkan anak untuk menanganinya sendirian. Bullying merupakan perilaku yang dilakukan dengan sengaja, secara terbuka dan menyakitkan, serta berulang. Biasanya bullying berdampak pada benda-benda, tubuh, perasaan, hubungan, reputasi, dan status sosial seseorang. Dalam bullying tersebut juga terdapat ketidakseimbangan kekuatan dimana ada yang berperan sebagai pelaku dan sebagai korban. Ketidakseimbangan ini dapat berupa kekuatan tenaga psikologis, atau kalah secara jumlah.
Alasan anak-anak melakukan tindakan Bullying
Ada berbagai alasan dibalik tindakan mereka melakukan Bullying kepada orang lain, yaitu karena mereka mengalami atau melihat pelecehan di rumah atau belum diperkenalkan dengan disiplin secara tepat di usia dini. Bisa juga karena belum tepatnya pengenalan dan pengajaran mengenai pentingnya rasa hormat, kepekaan, empati, dan kebaikan di rumah mereka.
Kadang-kadang bullying dilakukan secara spontan tanpa memikirkan tindakan atau konsekuensinya. Keinginan untuk merasa ‘penting’ ‘kuat’ atau ‘berkuasa’ memunculkan dominasi, menggunakan kekuasaan dan mengendalikan orang lain untuk menyakiti mereka. Hal ini dianggap dapat meningkatkan status sosial mereka di hadapan teman-teman. Mereka mungkin saja memiliki masalah keluarga dan mengeluarkan rasa frustrasi serta kemarahan pada orang lain. Untuk melakukan ini, mereka memilih siswa yang di anggap lebih lemah.
Pentingnya komunikasi untuk mengatasi Bullying
Kita perlu bersyukur ketika anak memberi tahu tentang bullying karena kebanyakan anak biasanya tidak memberi tahu orang tua mereka. Jika anak bercerita kepada orang tua tentang masalahnya, berikan pujian karena telah memberi tahu dan meminta bantuan. Ini akan mendorong anak untuk menjaga agar komunikasi tetap terbuka. Kurangnya komunikasi merupakan salah satu hambatan terbesar untuk mencegah dan menghentikan bullying.
Kemudian yakinkan kepada anak bahwa orang tua akan membantu tanpa menjadikan permasalahannya lebih buruk atau mempermalukannya. Mencoba untuk tetap tenang dan tidak mengomunikasikan kemarahan meskipun orang tua merasa demikian. Setelah itu cari tahu apa yang terjadi. Berhati-hatilah saat meminta anak menggambarkan perlakuan yang dia terima. Hindari membuat kesimpulan sendiri. Perlu diingat juga bahwa tidak setiap saat adalah saat yang tepat untuk memberi tanggapan atau berbicara. Pastikan untuk mendengarkan cerita anak tentang apa yang terjadi tanpa menginterupsi dan membanjiri anak dengan berbagai pertanyaan.
Setelah itu ajak anak untuk membahas mengapa bullying bisa terjadi dan bagaimana mereka harus menanggapi. Seringkali orang tua menyarankan kepada anak untuk membalas perlakuan yang mereka terima. Bahkan anak-anak tahu bahwa saran orang tua mereka untuk membalas kembali bukanlah jawaban. Tidak jarang juga orang tua yang menyarankan untuk mengabaikan pengganggu. Itu biasanya tidak akan berguna karena ketika anak mencoba mengabaikan, mereka akan diam dan memperpanjang bullying. Yang perlu dilakukan adalah mengajak anak berdiskusi dan menunjukkan kiat-kiat untuk menangani dan menanggapi penindasan. Dapat juga berlatih menggunakan strategi- strategi yang dapat dilakukan oleh anak ketika menghadapi situasi tersebut.
Pertahankan komunikasi terbuka dengan anak. Minta mereka untuk terus memberitahukan tentang bullying dan kemajuan yang sudah dicapai dalam mengatasinya. Terus yakinkan kepada anak bahwa orangtuanya selalu menyayanginya dan dia penting bagi seluruh keluarganya. Cinta dan kasih sayang akan membantunya mencintai dan menerima dirinya sendiri serta membuatnya lebih mampu untuk menghadapi perlakuan yang ia terima dari lingkungan.
Narasumber : Miftahul Hayati, M. Psi, Psi
Psikolog anak RS Awal Bros Pekanbaru
Ilustrasi gambar: Kat J
Bagikan ke :