Kerap kali kita menjumpai keluhan dari orang tua seperti “anak saya kok belum bisa bicara?” keluhan seperti ini dapat dilakukan tindak lanjut dengan anamnesis, observasi dan pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis dan menentukan terapi yang tepat. Diduga keterlambatan bicara ini dapat mengenai 7-10% anak, lebih sering dijumpai pada anak laki-laki. Anak dengan keterlambatan bicara 42% diantaranya akan mengalami gangguan membaca dan kognitif dikemudian hari.
Deteksi dini keterlambatan bicara dan gangguan bahasa, serta menentukan diagnosis dan intervensi harus cepat dilakukan saat otak masih berkembang, karena apabila intervensi dilakukan setelah usia lebih dari 5 tahun, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Seharusnya, pada usia setelah 2 tahun, seorang anak sudah dapat bicara dengan baik. Bila terdapat gangguan perkembangan otak kiri diusia kurang dari 2 tahun maka akan terjadi gangguan keterlambatan bicara.
Perkembangan bicara normal melalui beberapa tahapan yaitu munculnya cooing (bayi dapat mengeluarkan suara seperti aah uuh), bebbling ekolalia (sudah bisa mengoceh seperti papapapa, dadadada, mamamama, babababa), jargon (kata-kata yang sering diucapkan/ kata pertama). Penambahan pembendaharaan kata sedikit lambat pada usia 1-2 setelah usia 2 tahun, pembendaharaan kata cepat bertambah dengan mengetahui pola perkembangan bicara reseptif (bicara seseorang) dan rekspretif (mengucapkan kata-kata) keterlambatan bicara dapat dideteksi lebih cepat.
Dengan mengajukan dua pertanyaan “sudah bisa apa ananda saat ini?” atau “ananda sudah dapat bicara apa saat ini?” diharapkan dapat menyaring adanya gangguan perkembangan motorik atau bicara pada anak. Deteksi secara klinis di tujukan untuk mencari faktor predisposisi, gejala penyakit atau gangguan lain yang bisa disertai keterlambatan bicara dan bahasa. Hal ini membutuhkan kerjasama dokter dari berbagai bidang ilmu, psikolog, terapis, dan diperlukan juga evaluasi faktor orang tua dan lingkungan anak.
Berikut tanda adanya masalah dalam perkembangan bicara
Tanda awal keterlambatan bicara dan bahasa yang dikenal dengan red flags dapat diketahui dengan ciri-ciri berikut ini : pada saat lahir, anak tidak respon terhadap suara, tidak minat untuk berinteraksi dengan orang lain. Pada usia 4 bulan, anak tidak mau berkomunikasi, usia 6 bulan anak tidak melirik, tidak menoleh terhadap sumber suara yang datang dari belakang atau samping, tidak respon terhadap panggilan namanya, kehilangan kemampuan mengeluarkan suara. Pada usia 12 bulan, tidak ada jargon atau kata-kata rutin, tidak mengatakan “ma ma, pa pa” kehilangan kemampuan bicara yang sudah pernah ada. Usia 15-18 bulan, tidak ada kata-kata, tidak mengerti bila diajak bicara, tidak bisa mengucapkan 10 kata. Pada usia 21 bulan anak tidak respon terhadap perintah seperti duduk, berdiri, kemari. Di usia 24 bulan, pembendaharaan kata kurang dari 50 kata, tidak ada kalimat terdiri dari 2 kata, bicaranya sulit dimengerti orang lain, tidak dapat menunjuk dan menyebutkan bagian tubuh seperti mulut, mata, hidung, dan kuping.
Terapi anak dengan keterlambatan bicara melibatkan dokter, psikolog, terapis, dan orang tua. Tata laksana gangguan bahasa tergantung diagnosis dan penyebabnya. Pemakaian bahasa dirumah sebaiknya diseragamkan sehingga membantu anak menguasai satu bahasa terlebih dahulu. Pengalaman menunjukkan mengajarkan orang tua untuk bermain dan berinteraksi dengan anak sangat membantu pada kasus keterlambatan bahasa ekspresif.
Evaluasi dilakukan setiap 3-6 bulan untuk melihat hasil terapi yang telah diberikan, ditambah, dikurangi, atau dirubah program terapi, sesuai keadaan dan kebutuhan anak saat itu. Kesimpulannya, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam menangani keterlambatan bicara dan gangguan bahasa, mesti diperhatikan sebagai berikut : deteksi keterlambatan bicara dan gangguan bahasa sedini mungkin, carilah etiologinya, jangan menunggu, terapi sesuai etiologi, dan evaluasi terapi setiap 2-3 bulan.
Narasumber :
Dr. Ismet, SpA
Dokter Spesialis Anak RS Awal Bros Pekanbaru
Bagikan ke :