Sobat Awal Bros, penyakit autoimun mungkin masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat Indonesia. Penyakit ini memang baru mencuat dalam satu dekade terakhir di Indonesia. Padahal, penderita penyakit autoimun di dalam negeri cukup banyak dan memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak. Penyanyi Ashanti adalah saah satu penderita penyakit autoimun. Beberapa bulan belakangan ini sering televisi nasional memberitakannya.
Perhatian masyarakat di Indonesia terhadap penyakit autoimun dinilai masih rendah, karena kurangnya edukasi tentang penyakit yang diakibatkan adanya gangguan sistem kekebalan tubuh (imun) ini. Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi akibat sistem kekebalan tubuh atau sistem imun menyerang sel-sel sehat dalam tubuh. Jadi, tidak bisa membedakan antara sel sehat (sel diri sendiri) dengan benda asing (non self). Sistem kekebalan tubuh seharusnya berfungsi melindungi tubuh untuk melawan penyakit seperti bakteri dan virus atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dr Arif Koswandi SpPD-KGEH FINASIM menuturkan penyakit ini berkembang saat sistem kekebalan tubuh salah dalam menilaisel sehat yang terdapat dalam tubuh, dan malah menganggapnya sebagai zat asing. Akibatnya tubuh mulai memproduksi antibodi yang akan menyerang dan merusak sel sehat dalam tubuh. ”Penyakit autoimun umumnya lebih banyak menyerang wanita usia produktif, dimana faktor penyebabnya dapat berbeda antara satu penderita dengan penderita lainnya,” kata dr. Arif. Ia menjelaskan, penyakit autoimun dapat menyerang hampir semua bagian tubuh seperti otot, saraf, kulit, sendi, mata, ginjal dan lainnya. Ada sekitar 100 jenis penyakit autoimun yang sering diderita masyarakat di Indonesia. Secara umum penyakit autoimun terbagi dua, yaitu penyakit autoimun sistemik dan spesifik organ.
Penyakit autoimun sistemik berarti penyakit dapat menyerang seluruh tubuh atau organ dan jaringan, contohnya lupus (SLE), artritis rheumatoid (RA), dan sindroma sjogren. Penyakit autoimun spesifik organ berarti penyakit menyerang satu organ tertentu, contohnya Grave’s Disease dan Hasimoto’s Disease (menyerang kelenjar gondok/tiroid) dan Addison,s Disease (menyerang kelenjar anak ginjal/adrenal), IBD (inflamatory Bowel Disease) menyerang usus. ”Di Indonesia penyakit autoimun yang paling sering ditemukan di antaranya adalah lupus, artritis rheumatoid atau rematik, dan gondok,” sebut dr. Arif.
Gejala penyakit autoimun sangat umum sekali, sehingga sering tidak menyadarinya. Penyakit yang lama, berkepanjangan dan tidak sembuh-sembuh sehingga mengganggu kualitas hidup. Kadang masih sering ditemui kesalahan persepsi bahwa kondisi tubuh yang cepat lelah dikaitkan dengan penyakit musiman biasa. ”Padahal bisa saja hal tersebut menjadi salah satu gejala penyakit autoimun atau lupus, sehingga diperlukan edukasi dan deteksi dini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat,” sebut dr. Arif. Gejala khas penyakit Autoimun juga tergantung pada penyakitnya, seperti pada SLE bisa timbul demam berkepanjangan, kemerahan di pipi seperti kupu kupu (butter fly appearance), peradangan sendi, rambut rontok, dll. Pada RA terdapat peradangan sendi tangan atau kaki, terasa kaku atau sampai perubahan bentuk sendi.
Penyakit autoimun umumnya berlangsung lama sehingga pada penderita atau disebut dengan odamun (orang dengan autoimun) akan membawa penyakit tersebut seumur hidupnya, baik dalam keadaan penyakit yang aktif maupun terkontrol dalam pemantauan. ”Dalam beberapa kasus penyakit autoimun dapat kambuh sewaktu-waktu dan dampaknya sangat besar bagi kehidupan para penderita,” jelasnya. Mengapa bisa terkena autoimun? ”Seseorang bisa terkena penyakit autoimun, banyak sekali faktornya. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang terkena penyakit autoimun. Faktor pertama adalah genetik atau faktor keturunan,” papar Arif.
Seseorang yang punya riwayat keluarga yang pernah terkena penyakit autoimun juga rentan terkena autoimun. Selain faktor genetik, faktor gaya hidup yang tidak sehat, lingkungan atau faktor di luar tubuh seperti paparan sinar matahari dapat memicu munculnya lupus. Kemudian, kebiasaan merokok juga bisa meningkatkan risiko terkena lupus dan rheumatoid arthritis (penyakit autoimun yang menyerang sendi). Faktor risiko lainnya karena infeksi virus dan bakteri. ”Juga faktor hormon dan jenis kelamin diduga membuat penyakit autoimun lebih banyak menyerang perempuan di usia produktif,” sambungnya. Diagnosis penyakit autoimun sangat tergantung dari gejala yang menyerang organ tubuh. Namun, gejala autoimun sering kali mirip dengan penyakit lain. Diperlukan pemeriksaan dan konsultasi ke dokter untuk memastikan diagnosisnya.
Ada suatu tes yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit autoimun, yaitu tes antibodi antinuclear atau tes ANA. Tes ANA digunakan untuk mengukur kadar dan pola aktivitas antibodi pada darah yang melawan tubuh (reaksi autoimun). ”Semakin tinggi kadar ANA, semakin besar kemungkinan terkena penyakit autoimun,” katanya. Pada tes ANA, bila hasilnya positif tetapi tidak ada gejala penyakit autoimun, kemungkinan penyebabnya adalah penyakit atau faktor lain. Jika hasil tes ANA positif dan ada gejala penyakit autoimun, disarankan untuk tes lanjutan yaitu ANA profile. ”Tes ANA profile bisa membantu memperjelas diagnosis penyakit autoimun, seperti lupus, sindroma sjogren, skleroderma,” terangnya.
Menurut Arif, penyakit autoimun sebenarnya tidak bisa disembuhkan, tetapi dapat dikontrol dengan baik. Hampir semua penyakit autoimun membutuhkan pengobatan jangka panjang. ”Seseorang yang menderita autoimun sulit untuk sembuh sepenuhnya, dan pengobatan dibutuhkan agar pasien bisa mencapai status remisi (tanpa gejala), dimana penyakitnya bisa dikontrol, keluhan yang dirasakan berkurang dan pasien tenang.” Untuk mencapai tahap remisi, pasien juga perlu menerapkan gaya hidup sehat dan menjaga secara psikis termasuk belajar menerima penyakitnya sehinga pasien tidak stres dan depresi.
Penyakit autoimun bisa dicegah, salah satu caranya dengan menerapkan pola hidup sehat. Seperti makanan bergizi seimbang dan teratur, olahraga rutin, mengurangi stres psikologis, menjaga berat badan ideal. ”Bila berlu melakukan skrining dan konsultasi ke dokter untuk mencegah timbulnya penyakit autoimun terutama pada mereka yang memiliki kerentanan genetik,” tegasnya. Pada beberapa penelitian juga terdapat peran vitamin D untuk pencegahan penyakit autoimun. Berdasarkan hasil penelitian beberapa pasien autoimun memiliki kadar vitamin D yang rendah. Jenis makanan yang mengandung vitamin D antara lain minyak ikan scod, telur, susu, ikan salmon, tuna, makarel, udang, sereal, dan jamur.
Narasumber: dr. Arif Koeswandi, SpPD – KGEH FINASIM
Bagikan ke :